"NAMA, Anggi Vita Rachmadani, JABATAN, komanda pleton, beserta..."
suara itu memecah konsentrasiku yang sedang menghafal, sebenarnya banya suara yang sedari tadi bersautan di lapangan upacara, penyebutan nama dan jabatan bergema berulang-ulang. Malam gladi persiapan Apel tahunan, upacara khusus untuk penyambutan murid baru, beberapa kakak kelas terpilih dan staf guru, harus menyisihkan malam mereka untuk berlatih. Tapi entah suara nyaring yang baru ku dengar tadi, sengaja atau tidak, merasuk dalam alam bahwa sadarku.
Bagaimana tidak, disela-sela hafalanku aku mengulang perkataan itu, tak bosan aku mengulangnya, hingga teman sekamar dan kelas tahu semua, entah seperti apa wajah pemilik nama dan suara itu, yang pasti dia adalah kakak tingkatku di pondok yang baru ku tempati beberapa minggu lalu.
" tuch Rin ukhti Angginya.."
ukhti Dewi salah satu pembimbing kamar menyadarkanku ada sosok yang baru saja keluar dari kamar sebelah. Sore di depan kamar, mengobrol ringan dengan pembimbing kamar sudah menjadi rutinitas anak baru, aku memperhatikannya seksama, dia mendekat, mengangkat kepala sedikit ke arah ukhti Dewi,
"napa?? Manggil dew??" mungkin begitu, arti dari isyarat kepalanya, suara pembimbingku saat menyebut namanya mungkin terdengar olehnya, aku tak tahu pasti.
"Nih gie, si Arina, yang suka sebut-sebut namamu"
jelas sekali ukhti Dewi menunjuk tangannya ke arahku, padahal hanya aku yang ada di sampingnya, aku menunduk, menggerutu dalam hati, kenapa dikasih tau sih kalau aku sering mengulang perkataannya, mau ditaro dimana ni muka?? Kalau dia ga terima gimana?? Kalau dia marah gimana? Lagian siapa sih yang mau terima kalau perkataannya di ulang-ulang, mengikuti suara pemiliknya, yang tepatnya seperti suara meledek??
Diluar dugaan dia hanya mengangguk dan ber-oh saja, ditariknya ukhti Dewi, membiarkan aku sendiri, mungkin ada pembicaraan penting diantara mereka, ga peduli, yang penting dia tidak marah, bersyukur dia tidak menggubris perkataan ukhti Dewi barusan.
Suara drum band terdengar di barisan depan, semua berjajar rapih, memanjang mengikuti barisan, kami akan bersiap-siap untuk pawai taaruf, berkeliling kampung, menyapa sekaligus menghibur warga dengan drum band, ini sudah biasa di lakukan setiap tahun selepas Apel Tahunan. Setiap pleton di dampingi satu komandan, untuk berjaga-jaga jika ada yang kelelahan di perjalanan, sedari tadi orang itu berdiri disampingku, membuatku kikuk saja, ya tentu, siapa lagi? Ukhti Anggi, dengan pakaian serba hijau, seragam OPPMnya, ditambah sarung tangan putih, mengindetifikasikan bahwa dia adalah komandan pleton, bibir dan matanya tak lepas untuk memantau anggota pletonnya agar tetap dalam barisan yang rapih.
Pawai baru saja dimulai, tapi riuh kecil di tengah-tengah pleton terdengar, suara ketawa, dan cengengesan saling bersaut. Bagaimana tidak?? Sengaja sekali Ukhti satu ini berjalan tak jauh dariku, anggota pleton semua adalah murid baru, mereka tahu percis apa yang sudah ku lakukan akhir-akhir ini, mengulang-ulang perkataan di atas dengan nada khas pemilik suara itu, meledek?? Tidak, tidak ada maksud untuk meledek, sudah kukatakan suara itu terekam di dalam bawah sadarku, sering tanpa sengaja aku mengulangnya, menikmati setiap kata dan nadanya, ini nada pertama yang aku dengar dalam perupacaraan, nadanya unik, membuat penggalan katanya menjadi memiliki khas. Ketika aku menjadi pemimpin upacara saat SD, aku diajarkan untuk bersuara tegas, tidak bernada, dan sekarang aku mendengar salah satu komandan pleton yang memenggal potongan katanya dengan nada itu.
Mati gaya?? Tidak, bukan diriku jika ada yang meng ciee ciee lalu aku tak berkutik, sebisa mungkin aku memasang wajah biasa saja, sesantai mungkin padahal dalam hati entah kacau seperti apa.
"Ciee.. Ukhti Arina.. Idolanya ada di sampingnya.." lihat, tidak enak sekali perkataannya, bagaimana bisa mereka menganggap bahwa dengan seringnya aku mengulang perkataan itu berarti aku mengidolakannya??
" ukhti Anggi, tuch si Arina pagi, siang, malam, nyebut-nyebut nama ukhti mulu, mau di kamar atau di kelas, ciee.." nah orang yang berkata satu ini emang minta di timpuk, anggota pleton yang berkoor -ciee-ini emang minta ditimpuk semua. Tak bisa dibiarkan aku menjadi olok-olok mereka, ditambah ukhti Anggi sengaja membiarkan curhatan mereka tentang kelakuanku, ekspresinya seperti mengisyaratkan "ayoo.. Ada lagi? kasih tau ukhti kelakuan si Arina ini" , yang otomatis membuat temanku dan anak-anak lain menambahkan sisi lebay cerita tentangku.
"NAMA, ANGGI VITA RACHMADANI, JABATAN KOMANDAN PLETON"
Aku berteriak tak tahu malu, seakan-akan aku memang komandan pleton yang harus melapor pada pemimpin upacara, di tambah nada khas yang sering digunakan tak lupa ku ikut sertakan. Tak bisa ku biarkan mereka terus meledekku, sudah kepalang malu, aku beranikan diri untuk berteriak dan meniru suarannya, sudah tak peduli orang disampingku yang aku tirui akan marah atau tidak, atau kepalaku jadi korban jitakannya. Sempat matanya melotot tak percaya, membuat aku refleks memamerkan barisan gigi untuk menunjukan bahwa aku tidak takut dengan tatapannya. Dia terbahak, "dasar!!" sambil meninju pundakku. Aku tak percaya, dia menerimanya biasa saja, malah tawanya mengartikan bahwa tak ada masalah dengan yang ku lakukan.
Kaki kita terus melangkah menyusuri kampung, ternyata tawa tadi seperti mendekatkan kita satu sama lain, beberapa joke kita lakukan dalam perjalanan, kita seperti tak peduli dengan yang lain dan kita sama-sama menikmati itu. Itulah awal kedekatan kita, kedekatan yang nantinya melahirkan banyak hikmah.
(Diketik sebagai kado 4 desember, semoga tambah berkah mba gie 😊)