Ada dua hal menarik bagi saya hari ini, semua kejadiannya ketika mengajar di kelas. Pertama, disebabkan ada acara Halaqoh Mudaris, sejenis pengkaderan untuk menjadi guru Al-quran, beberapa anak terpilih untuk mengikuti acara itu, dan tidak mengikuti kelas saya. Secara kebetulan anak-anak terpilih adalah anak-anak berprestasi, otomatis sisanya yang masih masuk kelas adalah anak-anak yang sedikit susah dalam hal pelajaran. Tapi dari hal ini saya mengerti, di luar dugaan anak-anak yang saya kira kurang aktif, kurang respon dalam pelajaran menunjukan ke aktifannya. Biasanya tidak pernah bertanya ketika belum faham, hari ini dengan lantang mereka bertanya, tak segan-segan mengerjakan tugas tambahan, dan berlomba-lomba untuk dikoreksi. Melihat mereka hari ini, saya menyadari, ada diri saya dalam diri mereka.
Ketika SMP saya pun seperti mereka, menelan pahit-pahit tanda tanya jika di kelas banyak yang sudah mengerti, ingin bertanya tapi serba salah, takut memperlambat pelajaran jika guru menerangkan lagi. Akhirnya saya lebih sering masuk kelas khusus atau kelas tambahan karena sering di ulang pelajarannya. Dan disana saya lebih leluasa bertanya, sepertinya perhatian guru ketika dikelas tambahan berbeda dengan di kelas biasa, sama dengan mereka, agresif dengan semua tugas, mengejar keterlambatan.
Apakah mereka sama halnya dengan saya malu bertanya karena ketidak enakan kepada temannya?? Merasa perhatian guru hanya ada di kelas khusus saja? Semoga tidak, karena ini akan menjadi penyesalan akhirnya.
Kedua, tidak jauh berbeda dengan yang pertama, tentang perhatian intinya, bedanya ini berhubungan dengan anak kecil. Disela-sela pelajaran sore, beberapa anak kecil, masuk ke kelas, sudah biasa banyak anak kecil disini karena lingkungan asrama, banyak anak pengurus berkeliaran dan kelas hanya pelajaran tambahan untuk pengerjaan latihan-latihan. Tapi yang bikin kesal, mereka membawa tongkat bambu, entah dari mana mereka mendapatkannya. Biasanya mereka hanya ikut duduk membuka-buka buku, atau mencoret lembaran yang sudah di sediakan oleh salah satu murid saya, tanpa menggangu pelajaran. Awalnya tidak begitu menghiraukan kelakuan mereka, tapi setelah bertambah jumlahnya, dan keributan terjadi, semua menjadi kacau, aduh, serba salah, harus bagaimana, disuruh keluar, mereka mencoba menyerang saya dengan tongkat bambunya, dibiarkan, kelas tidak kondusif, mau marah, ga tega marahinnya, lagian kalau nangis nanti saya yang disalahkan, ampuun.
Saya kasihan melihat murid yang mulai terganggu, mereka mencoba bersikap tidak bersahabat agar bocah-bocah itu pergi, memelototi, mengambil tongkat dan di simpan di tempat tinggi, tapi hasilnya nihil sama seperti yang saya lakukan pertama kali ke bocah-bocah itu, mereka malah semakin tak karuan, bocah yang lain, membela dan membalas jika ada yang berani mengganggu temannya. Saya berpikir keras, rayuan, atau kelembutan tidak akan ada efek sepertinya kalau begitu hanya ada satu cara..
"Woiii ayo kita main perang-perangan di luaaaar..!!" teriakku dengan memasang ekspresi menantang bocah-bocah itu.
"Teteh mau jadi Khalid bin walid nih.." aku ambil salah satu tongkat bambu mereka dan mengayun ayunkannya seperti bermain pedang. Tepat, sesuai yang diinginkan, mereka menerima tantanganku dengan suka cita, sorak sorakpun terdengar. Tanpa diperintah dua kali mereka langsung berlarian keluar. Dengan isyarat mata saya pamit meninggalkan kelas, dan berpesan agar melanjutkan latihan tugasnya. Saya giring bocah-bocah itu agar jauh dari kelas, Mereka sudah menunggu intruksi, perang seperti apa yang saya inginkan. Saya tegaskan, saya berperan sebagai panglima perang Khalid bin walid, semua ada dibawah kekuasaan saya, dan mereka menyetujui, agar perang lebih hidup, saya suruh mereka berperan menjadi para sahabat Rasulullah, dua anak langsung menamai diri mereka dengan Umar dan Ali, sisanya hanya bengong tidak tahu harus menamai dengan apa.
"dede kamu mah jadi Rasululloh aja, jagoan tau rasululloh mah" pemeran Ali memberi saran kepada adiknya, si adik pun menyetujui, tinggal saya yang bingung, "kan ga boleh Rasululloh diperanin, apalagi sama bocah begini" batinku.
"Ok sama teteh aja dikasih namanya ya, biar Rasululloh jangan di ikut sertakan, kita bayangkan Rasululloh sedang berperang di tempat lain"
"kamu jadi Abu bakar, kamu Utsman.." sambungku cepat agar tidak ada yang bertanya atau ingin memainkan peran Rasululloh lagi, ku namai mereka dengan 8 sahabat yang ku hafal, sempat mereka protes karena di antara mereka banyak perempuannya, kenapa namanya laki-laki?! "Aduh, masalahnya shohabiah hanya beberapa yang suka berperang, itu pun teteh lupa namanya" gerutuku dalam hati.
"Tidak apa-apa, ini hanya main-main, karena yang suka berperang adalah para sahabat Rasululloh yang gagah perkasa" tegasku, sambil dalam hati berjanji setelah ini kudu baca shiroh shohabiah lebih mendalam.
Antusias mereka begitu besar, tapi saya tidak tahu harus memualai seperti apa, jika peperangan benar-benar terjadi ditakutkan ada korban, tongkat bambu lumayan sakit jika terkena pukulannya. ya latihan perang sepertinya cukup, dan bocah-bocah tidak akan kecewa. Saya mainkan peran sebagai panglima perang, suara membangkitkan semangat berjuang membela islam tak lupa saya sampaikan, saya atur 8 bocah itu dengan posisi berhadap-hadapan, bocah yang lebih besar dipasangkan dengan yang lebih kecil darinya, karena akan membantu ketika latihan. Saya sampaikan sebelum berperang dengan musuh islam kita harus latihan, jika tidak nanti kalah, tidak ada pilihan mereka harus mengikuti apa kata panglimanya.
Saya contohkan cara mengayunkan pedang, perlahan-lahan, sengaja mengenai lawan dihadapan saya sehingga terdengar suara benturannya, mereka memperhatikan dengan seksama, bocah yang menjadi lawanku mulai menyiimbangi, perlahan-lahan,
"tak-tak-tak-tak-tak" suara pedang kami terdengar mantap. Bocah-bocah itu tanpa diperintah langsung mengikuti.
"Perlahan-lahan, hati-hati, ini kawan bukan lawan, ini latihan bukan peperangan" tegasku, antipasi jika ada yang mengibas tongkatnya dengan kasar. Sesuai contoh dan intruksi mereka melakukannya dengan baik, menyeimbangi teman dihadapan mereka. Melihat mereka terfokus pada latihannya saya izin untuk pergi, tak lupa mempersilahkan istirahat bila ada yang kelelahan, dan melanjutkan latihan setelah istirahat. Mereka mengangguk tanpa melihat, seakan enggan kenikmatan permainan pedang mereka diganggu.
Segara saya menuju kelas, senyum kebebasan mengembang saat memasukinya, tak lupa menutup rapat si pintu agar bocah-bocah itu tak bisa masuk lagi. Alhamdulilah kita dapat melanjutkan pelajaran hingga selesai dengan tenang.
Lalu bagaimana keadaan si bocah-bocah itu??
Diluar dugaan mereka asik masing-masing, tidak ada yang melanjutkan latihan pedangnya, mungkin bosan latihan seperti itu terus, ditambah panglima perangnya melarikan diri entah kemana. 😅
Jika mereka bersikap menyebalkan mungkin memang mereka sedang butuh perhatian, mereka ingin menunjukan tongkat bambu yang mereka miliki kepada sekitarnya, sehingga mereka bersikap seperti di awal. Hanya kita sebagai orang dewasa bagaimana menyikapinya, walau sungguh mengalihkan perhatian mereka itu tidak mudah. Jika idea dalam pikiran kita membuat mereka senang, bisa jadi mereka mengikuti apa yang kita inginkan, tapi jika tidak, itu bukan urusan yang mudah pastinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar