Jumat, 15 Januari 2016

Bukan sinetron

" kerjakan PRmu terlebih dahulu, baru boleh main keluar"
ibu setengah baya itu menasehati anaknya selepas pulang sekolah.

"Aku tidak ingin bermain ibu.. Aku hanya ingin mengantarkan buku teman sekelasku yang terbawa olehku" jelas anaknya

" kerjakan PRmu dulu, baru boleh keluar, serahkan besok saja bukunya saat di kelas"

"Aku harus bergegas, jika tidak besok dia bisa dikeluarkan dari kelas oleh pak guru karena tidak mengerjakan PR di buku tulis, aku harus mengantarkan buku ini ibu.."

"Kamu tak mendengar?! Kerjakan PRmu dulu..  Ah.. lebih baik kamu beli roti dulu, sebelum bapakmu pulang"  sambil pergi dari hadapan anaknya. Si anak hanya terdiam, melihat dengan seksama buku ditangannya, memikirkan apa yang akan terjadi dengan temannya esok hari, jika ia tak mengembalikan bukunya sekarang.
" belikan roti sebelum bapakmu pulang.." suara dari dalam mengagetkannya. Tanpa pikir panjang lagi, ia bergegas keluar, bukan untuk membeli roti, tapi mengembalikan buku temannya.

Itu adalah salah satu adegan awal di film "where is my friend's house??", salah satu film anak dari negara Iran. (Tentu isinya berbeda dengan dialog diatas, tapi intinya seperti itu laaah..) Hampir isi film itu adalah perjalan anak kecil yang mencari rumah temannya yang berbeda kampung, dia tak tahu percis dimana rumah temannya, tapi dengan rasa bertanggung jawab ia mencari rumahnya hingga larut malam, dan hasilnya nihil, sesuai judul film ini, sampai akhir film dia tidak tahu dimana rumah temannya itu.

Bagaimana anda saat membaca dialog diatas? Khususnya dialog si ibu? Bernada marah? Jengkel? Mungkin seperti itu, jika kita berikan dialog diatas pada para pemain sinetron. Tapi ini film, dimana ekspresi tidak berlebihan, bahkan difilm ini ibu itu berbicara datar tanpa sedikitpun bernada tinggi.
Di Film jadul ini tidak ada adegan istimewa, bahkan hampir dialognya tidak berekspersi, tentu saya melihat dari sudut pandang orang yang hidup dimasa kini, apalagi hidup di Indonesia, dimana film-film penuh dengan emosi. Inilah yang saya suka dari film ini, bagaimana seorang anak berbicara tidak melebihi suara orang tua, memaksa tidak dengan berteriak atau menangis. Saya membayangkan saat nonton film ini, jika nanti si anak pulang kerumah pasti akan dimarahi ibu atau bapaknya, tidak membelikan roti, dan pulang saat hari sudah gelap. Tapi ternyata perkiraan saya meleset jauh, saat dia pulang, ibunya tidak marah sedikitpun, dia hanya menyuruh anak itu makan dan bergegas tidur, tentu dengan ekspresi sederhananya. Saya berpikir seperti itu mungkin karena hampir di film, sinetron atau drama manapun saat si anak pulang telat dan tak mendengarkan orang tua, imbalannya adalah nasehat panjang lebar, atau tidak mendapat jatah makan malam, atau bahkan sebuah pukulan, atau hal-hal yang tidak memikirkan perasaan si anak yang sudah lelah, perlu istirahat karena sudah mencari rumah temannya dengan berjalan kaki.
Sebagai calon umma, inilah yang bisa menjadi catatan, disaat orang tua dalam keadaan benar, kadang ia berpikir egois tentang dirinya sendiri, tanpa memikirkan perasaan anak, dimana penjelasan anak hanya dianggap sebuah alasan untuk bermain tanpa memikirkan apa dibalik itu semua. Ingatlah anakmu nanti hanya bertubuh lebih kecil darimu, tapi pikiran dan perasaan percis seperti orang dewasa rasakan dan pikirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar